Home » Pengalaman » Pengorbanan Paling Murah

Pengorbanan Paling Murah


29 Juni 2025·Maulana Ahsan·5 min read


Tulisan ini berisikan pengalaman hidup gw sebagai manusia yang merangkak dari ekonomi paling bawah sampai...

Ada masa di hidup gw ketika setiap pilihan yang melibatkan uang langsung bikin gw mikir dua kali.

Gw bukan orang yang kaya, tapi juga bukan gak punya sama sekali. Tapi entah kenapa, mengeluarkan uang selalu terasa berat. Kayak ada alarm kecil di kepala yang bilang: “Jangan boros. Bisa dikerjain sendiri, kenapa harus bayar?

Jadi gw pilih jalan yang panjang. Yang lebih melelahkan, tapi murah. Gw rela begadang ngerjain hal teknis berjam-jam. Rela belajar dari nol sesuatu yang sebenernya bisa bayar orang lain untuk melakukan hal tersebut.

Gw pikir, itu bentuk perjuangan. Gw pikir, itu bukti kalau gw niat.

Dan jujur aja, ada rasa bangga tiap kali berhasil menyelesaikan sesuatu dengan “keringat sendiri”. Tapi makin lama, gw mulai nyadar, rasa bangga itu punya harga mahal.

Gw bayar dengan waktu gw yang habis. Gw bayar dengan tenaga yang kesedot. Gw bayar dengan progress yang lambat karena semua gw kerjain sendiri.

Lelahnya bukan cuma fisik. Tapi juga mental. Karena ternyata, kerja keras tanpa sistem yang tepat, bisa jadi bentuk keangkuhan terselubung.

Setelah merenung cukup panjang, bisa jadi yang gw alami ini berakar dari trauma yang panjang terhadap uang, buat lu yang pengen tau cerita hubungan gw dengan uang kayak gimana, bisa baca tulisan tentang Warisan yang tak Pernah Diminta.

Waktu Itu Mahal

Umur nambah, tapi jam sehari tetap dua puluh empat. Dan makin kesini, hidup justru nambah sibuk. Pekerjaan, keluarga, mimpi pribadi yang masih numpuk di daftar tunggu. Semua saling berebut porsi.

Dulu gw pikir uang itu yang paling langka. Ternyata bukan. Yang paling langka adalah waktu. Dan yang lebih langka lagi adalah energi fokus di dalam waktu itu. Kita bisa punya 8 jam sehari, tapi kalau pikiran udah kebagi ke mana-mana, hasilnya gak akan pernah maksimal.

Di titik itu, gw mulai ngelihat ke sekitar. Orang-orang yang jalannya kelihatan lebih cepat bukan karena mereka lebih jenius. Tapi karena mereka ngerti konsep leverage.

Mereka tau kapan harus nyewa jasa orang, kapan harus beli alat, kapan harus invest ke sesuatu yang bisa menghemat waktu mereka.

Dan disitulah gw mulai berani ngeluarin uang buat sesuatu yang sebelumnya gw anggap "pemborosan".

Gw mulai pake tool premium, mulai beli online course dibandingkan belajar dari nol sendiri, mulai belajar paid traffic dan banyak hal yang melibatkan uang lainya.

Bukan karena gw jadi konsumtif. Tapi karena gw sadar, uang bisa nyelametin waktu gw. Dan waktu, bisa gw pakai buat sesuatu yang jauh lebih berharga.

Misalnya ketika membangun akun sosial media, gw dulu bikin konten organik setiap hari dan selama 3 bulan baru terkumpul ratusan followers, sementara sekarang dengan menggunakan iklan, gw bisa dapetin ratusan follower tersebut hanya hitungan hari.

Kira kira kayak gitu lah pemanfaatan uang di mata gw sekarang.

Murahnya Uang, Mahalnya Hidup

Lucunya, hal yang dulu gw jaga mati-matian " uang " ternyata justru yang paling murah. Gw pernah takut keluar seratus ribu, tapi rela ngabisin dua hari buat sesuatu yang sebenernya bisa selesai dalam dua jam kalau gw mau bayar.

Padahal, dua hari itu gak bisa dibalikin. Tapi seratus ribu? Bisa dicari lagi.

Gw pernah mikir kalau uang adalah bentuk pengorbanan terbesar. Sekarang gw sadar, pengorbanan terbesar itu justru waktu, fokus, dan life bandwidth yang hilang. Uang bisa lo dapat dengan kerja, tapi energi dan ketenangan pikiran gak bisa lo dapat cuma dengan kerja keras.

Uang itu alat. Tuas. Dan fungsi tuas adalah meringankan beban. Tapi kalau kita terlalu takut megang tuas itu, kita bakal terus-terusan mendorong sendiri beban yang sebenernya bisa dipindahkan lebih cepat.

Berjuang sendirian

Investasi yang Gak Kelihatan

Belakangan ini, gw mulai ngerasain manfaat dari keputusan-keputusan yang dulu terasa kecil. Kayak langganan tool buat otomasi kerjaan. Atau bayar ads buat promosi produk. Hasilnya gak selalu instan. Tapi secara perlahan, hidup gw jadi punya lebih banyak “ruang”.

Ruang buat mikir. Buat istirahat. Buat eksplor hal lain yang bisa nambah value ke hidup gw.

Dan mungkin itu esensi dari leverage: bukan soal menghasilkan lebih banyak uang saja, tapi soal menciptakan ruang buat hal-hal yang penting, tapi gak selalu mendesak.

Gw sekarang lebih milih bayar ratusan ribu daripada kehilangan hari-hari yang bisa gw pakai buat sesuatu yang meaningful. Karena ujung-ujungnya, hidup bukan cuma tentang bertahan. Tapi tentang bertumbuh.

Dan pertumbuhan itu butuh ruang.

Gw menikmati setiap proses gw bertumbuh, meskipun ada rasa deg degan karena kehilangan uang dengan return yang tidak langsung terlihat, tapi gw menikmati setiap perjalanan gw sekarang.

Penutup: Belajar Melepas, Belajar Mempercayai

Dulu gw kira semua harus gw genggam sendiri. Sekarang gw belajar, kadang justru dengan melepas, gw bisa dapet lebih. Bukan karena gw nyerah. Tapi karena gw ngerti: gak semua hal harus gw pegang erat-erat.

Kadang, membayar orang lain atau membayar sistem adalah bentuk kepercayaan, bahwa hasil gak harus datang dari tangan gw sendiri. Dan bahwa uang, bisa jadi kendaraan, bukan rintangan.

Dan sekarang, gw memilih untuk ngelihat uang bukan sebagai beban… tapi sebagai tuas untuk perkembangan kehidupan gw.

Kategori:Pengalaman
Maulana Ahsan Profile

Maulana Ahsan

Seorang pekerja kantoran yang menyukai anime, manga dan budaya Jepang.
Pemilik akun social media @kejepangan.


Suka dengan tulisan di Blog Tulisan Ahsan? Lu bisa memberikan dukungan dengan berdonasi atau bagikan konten ini di sosial media. Terima kasih atas dukungan kamu!