Warisan yang Tak Pernah Diminta
13 April 2025·Maulana Ahsan·5 min read

Lebaran tahun ini cukup berbeda dari lebaran lebaran yang sebelumnya, bukan karena gak bisa pulang seperti pas tahun 2022 tapi karena ada hal hal lain yang cukup radikal perubahan-nya.
Misalnya, dulu gw kalo pulang kampung selalu punya banyak agenda, ada banyak tempat yang akan gw kunjungi, ada banyak orang yang akan gw temui, dan agenda nongkrong yang rutin gw lakukan.
Tapi untuk tahun ini, banyak hal yang gak ada. Karena memang kejadian-nya berubah di tahun ini, semua orang sibuk mengejar tujuan hidup atau sudah menjalani kehidupan yang berbeda. Sementara gw ngerasa masih sama sama aja.
Akhirnya karena gak banyak kegiatan, gw jadi banyak merenung dan ngobrol sama orang orang terdekat di lingkungan keluarga gw. Jadilah gw menulis artikel ini berdasarkan apa yang gw dapet.
Disclaimer: Tidak ada benar dan salah dalam case ini, disini gw cuma mau sharing sesuatu aja.
Trauma Warisan
Kondisi keuangan keluarga gw dari dulu memang tidak baik, bahkan gak bisa dibilang "cukup" karena kami masih harus berhutang untuk mendapatkan pendidikan, memperbaiki rumah, dan bahkan untuk kebutuhan sehari hari pun kadang masih hutang.
Gw sering denger orang tua gw tuh sedih dengan fakta yang ada, misalnya "Jadi orang miskin memang sengsara, mau ngapa ngapain aja diremehin". Atau kayak gini "Tiap acara keluarga pasti selalu yang disambut tuh keluarga kita yang ono karena kaya, keluarga sini bahkan mau ambil makanan dikit aja udah dicela".
Kurang lebih begitulah obrolan normal di keluarga gw.
Nah... Gw dari jaman masih bocah, itu gak mau banget bilang kalo gw miskin, selalu punya alasan yang lain untuk tidak mengatakan kondisi yang sebenarnya memang kejadian.
Misalnya ketika bapak gw bilang, kalau gw gak bisa kuliah karena terkendala biaya, gw selalu bilang kemana mana kalau gw gak kuliah karena emang gak pengen kuliah aja. Tapi emang kenyataan nya gw gak pengen kuliah sih pas lulus SMK waktu itu.
Atau ketika gak punya duit buat berangkat kerja ke Jepang, dan gak punya aset yang bisa digadai, respon gw dan orang tua gw berbeda.
Ibu gw bilang "Mau gimana lagi, gak punya uang" sementara gw menyangkal dengan, emang gw gak mengusahakan lebih keras aja itu, karena gw malah mengusahakan untuk kerja di Jakarta. Faktanya memang begitu, gw ketika udah punya syarat buat kerja ke Jepang, gw malah berpikir ulang dengan pekerjaan disana, jadi milih kerja di Jakarta.
Tanpa gw sadari, ternyata gw punya tauma yang cukup kuat dengan "Kemiskinan
".
Karena gak mau ngalamin apa yang dialamin oleh orang tua gw. Jadi gw berusaha mati matian untuk membuat diri gw tidak (merasa) miskin.
Salah Mindset yang Diturukan
Salah satu hal juga yang gw sadarin, ternyata hal yang mengerikan dari kemiskinan selain tidak punya harta, adalah orang miskin punya mindset tertindas, merasa harus dibantu, pasrah dengan apa yang terjadi, inferiority dan pesimis, tidak berani bermimpi besar, dan semacamnya.
Mindset itu terbentuk di otak mereka bukan karena pengen, tapi memang dunia jahat kepada orang miskin. Sehingga defence mechanism yang mereka bikin ya kayak gitu.
Celakanya.... Mindset ini juga diturunkan kepada anak anaknya. Bukan berniat buruk, tapi agar anak anaknya tidak mengalami apa yang mereka alami.
Takut kalau anak mereka bermimpi besar dan akhirnya gagal, takut mentalnya tidak kuat dan terjadi hal yang tidak di inginkan. Karena fun fact di kampung gw banyak kejadian orang sakit jiwa karena misalnya:
- Gak bisa kuliah karena ekonomi.
- Pilihan politik yang kalah.
- Kelakuan anak yang nakal berlebihan.
- dan lain sebagainya.
Makanya ketakutan itu berasalan, bukan karena mereka ingin menurunkan ketakutan itu.
Output Tanpa Disadari
Tapi meskipun mereka tidak ada niat buruk, nyatanya banyak cara didik ini yang membuat anak orang miskin susah untuk mengubah hidupnya. Sebagian besar akan berakhir sama dengan orang tuanya.
Bahkan mimpinya sudah dibunuh sebelum mereka ingin menggapainya. Ketika anak orang miskin ingin berbisnis, orang tuanya akan bilang "Modalnya dari mana? Nanti kalo rugi gimana? Sayang uangnya" dan ini akan membuat sebagian besar anaknya akan mengurungkan niatnya.
Selain itu, mereka juga seneng banget ngumpul, bahkan gak rela anaknya untuk merantau jauh dari rumah. Padahal itu adalah salah satu cara yang dilakukan sang anak untuk mengubah nasib yang selama ini membuat dia trauma.
Cukup Buktikan
Lalu gimana dong kalo sudah mengakar kayak gitu?
Satu satunya hal yang bisa dilakukan adalah minimalisir kompromi dengan mereka, cukup buktikan saja. Misal gw punya niat untuk memulai sebuah bisnis, gw gak akan bilang ke keluarga kalau mau bisnis, langsung aja mulai dan jalanin prosesnya.
Ketika bisnis gw jalan dengan baik dan menghasilkan, barulah aku akan bilang ke mereka aku bisnis.
Kalau sudah ada hasilnya, orang gak akan bisa ngeremehin dan membuat niatmu makin ciut. Better lakukan apa yang pengen lu lakukan, tunjukkan jika memang sudah layak untuk ditunjukkan.
Penutup
Cukup sekian tulisan gw kali ini tentang pedihnya kemiskinan, setidaknya apa yang gw alami aja ya. Tentu saja gak semua keluarga miskin akan sama, bisa jadi keluarga yang lain sudah menyadari keadaan mereka harus diubah secepatnya, sehingga cara didik mereka ke anaknya juga lebih baik.
Semoga tulisan gw kali ini ada manfaatnya.

Maulana Ahsan
Seorang pekerja kantoran yang menyukai anime, manga dan budaya Jepang.
Pemilik akun social media @kejepangan.
Suka dengan tulisan di Blog Tulisan Ahsan? Lu bisa memberikan dukungan dengan berdonasi atau bagikan konten ini di sosial media. Terima kasih atas dukungan kamu!