Watagashi dan Kamu
📅 30 November 2025·👤 Maulana Ahsan·📖 3 min read

Ada beberapa momen dalam hidup yang datang tanpa permisi. Pelan, sederhana, bahkan terlalu biasa.
Tapi entah bagaimana… momen itu menepuk dadaku dan bilang, "Hei, simpan ini. Kamu akan mengingatnya lama sekali."
Seperti malam itu.
Malam festival musim panas, hari terakhir, di mana kamu memakai yukata biru muda dengan motif kelopak bunga.
Aku masih ingat betapa aku heran pada diri sendiri... kenapa hal sekecil itu bisa membuatku gemetar.
Aku berjalan di sebelahmu.
Hanya itu.
Hanya kita berdua, berjalan pelan di antara keramaian.
Tapi anehnya, aku merasa seolah sedang coba berdiri di tempat yang bukan milikku. Aku gugup, kikuk, terlalu sadar pada setiap detik yang lewat. Aku ingin terlihat tenang, tapi seluruh tubuhku seperti ingin meledak.
Kamu menggumamkan sebuah lagu.
Santai, tanpa beban.
Aku mendengarnya seperti orang bodoh yang menyimpan semua hal yang seharusnya biasa saja. Matamu sesekali bertemu mataku, dan aku sempat berpikir itu tanda.
Tapi kamu cepat membuktikan bahwa itu cuma kebiasaan.
Cuma refleks.
Dan ya… aku cukup sadar diri untuk mengerti itu.
Ketika kamu memakan watagashi dan membuatnya meleleh di mulutmu, aku menatapmu lama-lama.
Ada bagian diriku yang ingin menjadi watagashi itu... yang bisa kamu dekatkan ke bibirmu, yang bisa membuatmu tersenyum meski hanya sebentar, yang bisa hilang dalam dirimu tanpa kamu sadari.
Aku tahu itu terdengar menyedihkan. Tapi malam itu, aku hanya ingin menjadi sesuatu yang membuatmu bahagia, walau cuma sebentar.
Kamu tersenyum padaku.
Dan Tuhan… ternyata itu cukup untuk mengacak-acak seluruh hatiku.
Cuma senyum.
Tapi dengan itu saja, aku seperti menemukan tempat yang sudah lama hilang di dalam diriku.
Tempat yang nyaman.
Tempat yang hangat.
Tempat yang, sayangnya… bukan untukku.
Aku mencoba memikirkan cara untuk menggenggam tanganmu. Timing yang pas, situasi yang tepat, wajah seperti apa yang harus kutunjukkan.
Tapi setiap kemungkinan yang kubayangkan, selalu berhenti di satu kenyataan sederhana: aku tidak yakin kamu akan mengerti, apalagi menerimanya.
Topik pembicaraan yang biasanya bisa membuatmu tertawa sudah habis.
Aku tidak punya bahan apa-apa lagi untuk menarik perhatianmu.
Kamu terlihat baik-baik saja, sementara aku hampir kehabisan alasan untuk tetap terlihat tenang di sebelahmu.
Dan aku tahu,
ada satu kata yang tersisa.
Satu kalimat yang sebenarnya sudah berputar-putar di lidahku dari tadi.
“Aku suka kamu.”
Tapi aku tidak mengatakannya.
Karena aku tahu, begitu aku bicara, momen kecil ini akan pecah seperti kembang api yang padam terlalu cepat.
Jadi ketika kembang api pertama naik ke langit, aku menatap profil wajahmu.
Diam-diam, pelan-pelan, seolah ingin membakarnya ke dalam ingatanku agar aku bisa menyimpannya sendirian setelah malam ini selesai.
Lalu aku bilang hal paling aman yang bisa kukatakan:
“Seru ya…”
Kata yang pendek,
paling netral,
paling tidak jujur,
tapi juga yang paling melindungi kita berdua.
Setelah itu, tak ada apa pun yang berubah. Kita tetap berjalan berdampingan, tapi dunia kita tetap tidak bersentuhan.
Dan malam itu akhirnya selesai.
Festival berakhir.
Kembang api padam.
Kamu pulang tanpa tahu apa pun.
Aku pulang dengan dada yang seperti disayat tapi hangat pada saat yang sama.
Aneh ya?
Ternyata cinta yang tidak pernah dimulai pun bisa meninggalkan bekas.
Seperti watagashi.
Meleleh cepat,
hilang begitu saja,
tapi manisnya entah kenapa menetap paling lama.
Dibuat berdasarkan lirik lagu back number - Watagashi

Maulana Ahsan
Seorang pekerja kantoran yang menyukai anime, manga dan budaya Jepang.
Pemilik akun social media @kejepangan.
Suka dengan tulisan di Blog Tulisan Ahsan? Lu bisa memberikan dukungan dengan berdonasi atau bagikan konten ini di sosial media. Terima kasih atas dukungan kamu!
