Home » Refleksi » Jika Bersamamu, Mungkin Aku Mau Mencoba Lagi

Jika Bersamamu, Mungkin Aku Mau Mencoba Lagi


📅 23 November 2025·👤 Maulana Ahsan·📖 4 min read


Ada masa ketika kedekatan terasa seperti ancaman, sampai seseorang datang tanpa suara dan mengubah cara pandangku tentang kenyamanan, luka lama, dan keberanian untuk berbagi keseimbangan...

Ada masa dalam hidup ketika aku percaya bahwa menjadi sendiri adalah bentuk kenyamanan paling utuh yang bisa kumiliki.

Bukan karena aku anti-sosial, bukan karena aku menarik diri, tapi karena ada bagian dari diriku yang selalu merasa harus bersembunyi ketika ada orang lain di dekatku.

Seolah dunia sosial itu menuntut versi lain dari diriku... lebih rapi, lebih kuat, lebih bisa ditebak. Dan itu melelahkan.

Dulu, aku suka ayunan. Tidak pernah suka jungkat-jungkit.

Ayunan itu sederhana... hanya aku dan udara sore. Tidak ada yang harus kuimbangi, tidak ada ritme orang lain yang harus kuikuti.

Tapi jungkat-jungkit… itu lain cerita. Di sana ada orang lain. Ada berat tubuh orang lain yang harus kupahami.Ada jeda yang harus kuhargai.

Sejak kecil, aku belajar bahwa untuk tetap seimbang di atas papan kecil itu, aku harus mengurangi diriku sendiri.

Dan entah kenapa… itu terasa tidak adil.

Lama-lama aku membentuk teori hidupku sendiri:

“Lebih baik tidak berharap apa-apa. Lebih baik tidak meminta apa pun. Yang tidak menuntut, tidak akan kecewa.”

Aku tumbuh dari luka-luka kecil yang tidak pernah benar-benar kubicarakan pada siapa pun. Dari ketakutanku yang tak pernah tersampaikan, dari kebohongan-bohongan kecil yang kulontarkan demi melindungi orang lain dari kemungkinan terluka.

Aku belajar sejak dulu bahwa perasaan adalah sesuatu yang sebaiknya kusimpan rapat-rapat.

Ternyata, manusia bisa dewasa tanpa pernah benar-benar tumbuh dari masa kecilnya.

Sampai suatu hari, tanpa kusadari, seseorang berdiri begitu dekat denganku.

Tidak ada momen dramatis. Tidak ada musik turun perlahan. Tidak ada adegan hujan atau tangan yang saling meraih. Hanya… kehadiran. Sederhana. Nyaman. Tidak mengancam.

Aku tidak tahu sejak kapan kamu mulai masuk ke ruang-ruang kecil dalam hidupku. Ruang yang bahkan kupikir tidak layak dibagi ke siapa pun. Tapi anehnya, kehadiranmu tidak membuatku ingin kabur.

Tidak membuatku berubah bentuk. Tidak membuatku kembali memakai topeng yang biasanya kupakai untuk bertahan hidup.

Bersamamu, aku bisa jadi diriku sendiri... tanpa pengurangan, tanpa penyesuaian, tanpa harus menaruh sensor di setiap kalimat.

Dan keanehan itu, justru menakutkan.

Karena kenyamanan seperti ini jarang muncul dua kali dalam hidup seseorang.

Karena jika suatu hari kamu pergi, aku tahu aku akan kembali ke mode bertahan—yang dingin, sunyi, dan terlalu rapi untuk disebut hidup.

Ada satu momen yang merubah segalanya.
Satu botol cola yang kita minum berdua.
Sederhana. Konyol. Tidak sengaja.

Tapi saat itu juga, ritme jantungku berubah.

Kita berdua tiba-tiba sadar bahwa kita bukan hanya dua manusia yang cocok ngobrol. Kita laki-laki dan perempuan.

Kita sama-sama gugup. Kita saling menyadari keberadaan satu sama lain dalam cara yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Dan seperti itu, kenyamanan berubah menjadi deg-degan.
Deg-degan berubah menjadi takut.
Takut berubah menjadi… pengakuan yang berat untuk diucapkan:

“Ini cinta, ya?”

Tapi cinta bukan soal jelas atau tidaknya perasaan.
Cinta adalah apakah aku berani menghadapi risiko kehilanganmu.

Karena kalau cinta ini satu arah, aku bisa diam.
Kalau ternyata kita saling suka, aku bisa pura-pura tidak sadar agar hubungan ini tidak retak.

Seaneh itu mekanisme perlindungan manusia.
Seaneh itu cara kita menjaga keseimbangan yang rapuh.

Tapi di tengah semua keraguan dan rasa takut itu, ada satu kenyataan sederhana yang membuat semuanya terasa mungkin:

Punya seseorang yang ingin kamu ajak bicara… itu kebahagiaan.

  • Bahkan jika dunia sedang berat.
  • Bahkan jika kamu tidak tahu harus berkata apa.
  • Bahkan jika perasaanmu masih setengah jalan antara berani dan takut.

Dan pada akhirnya, aku menemukan diriku berkata sesuatu yang bahkan versi lamaku tidak akan pernah berani bayangkan:

“Kalau denganmu… mungkin aku mau mencoba naik jungkat-jungkit.”

  • Aku yang dulu menolak berbagi keseimbangan.
  • Aku yang selalu memilih ayunan sendirian.
  • Aku yang takut menyamakan ritme dengan manusia lain.

Sekarang berkata,
“Kalau kamu yang di seberang papan itu… aku siap mencoba.”

Dan mungkin, dari seluruh lirik panjang lagu ini, itu adalah kejujuran terbesar yang bisa kumiliki.

Bukan “aku cinta kamu”.
Tapi sesuatu yang lebih dalam:

Aku siap membuka diriku... kalau kamu yang menemaniku.

Dibuat berdasarkan lirik lagu Nogizaka46 - Ima Hanashitai Dareka ga Iru

Kategori:Refleksi
Maulana Ahsan Profile

Maulana Ahsan

Seorang pekerja kantoran yang menyukai anime, manga dan budaya Jepang.
Pemilik akun social media @kejepangan.


Suka dengan tulisan di Blog Tulisan Ahsan? Lu bisa memberikan dukungan dengan berdonasi atau bagikan konten ini di sosial media. Terima kasih atas dukungan kamu!